BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Integrasi
merupakan suatu keadaan di mana
kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan
mereka masing-masing. Dalam integrasi tersebut
setiap kelompok masyarakat memiliki adat-istiadat atau kebudayaan yang
berbeda-beda namun mereka tetap berpegang teguh terhadap adat-istiadat dan
kebudayaan mereka masing-masing. Dimana di dalam suatu wilayah suatu kelompok
harus mengikuti suatu kebudayaan mayoritas.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan integrasi?
2.
Apa sajakah teori-teori integrasi?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui definisi dari integrasi itu sendiri
2.
Untuk mengetahui teori-teori apa saja yang terdapat
dalam integrasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Integrasi
Integrasi
berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian fungsi.
Definisi
lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik
beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat,
namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi
memiliki 2 pengertian, yaitu :
- Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
- Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu
B. Teori-teori Integrasi
Integrasi
terbagi dalam dua sisi, di sisi makro adalah fungsional struktural dan teori
konflik, sedangkan di sisi mikro adalah teori interaksionisme simbolik, teori etnometodologi,
teori pertukaran, dan teori rasional.
a. Makro
1. Teori Fungsional Struktural
Teori
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang
luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.
Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari
elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai
"organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan"
secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya
untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik,
dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif."
Bagi Talcott
Parsons,
"fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu
dalam pengembangan metodologis ilmu
sosial, bukan sebuah
mazhab pemikiran.
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan
teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang.
Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile
Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat
dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan,
ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme
tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya
pendekatan struktural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile
Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan
Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian
dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari
kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi
apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi
panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology
organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah
kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang
membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu
sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan
merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim
dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu,
antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk
berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini
juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi
Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah
- Visi substantif mengenai tindakan sosial dan
- Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna
dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor
dalam menginterpretasikan keadaan.
2. Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan
sosial tidak terjadi melalui
proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat
adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula.
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural
fungsional. Pemikiran yang
paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl
Marx. Pada tahun
1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan
alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang
masyarakat kelas dan perjuangannya.Marx tidak mendefinisikan kelas secara
panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di
Eropa
di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial
hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam
proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran
semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa
adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis
mendorong terbentuknya gerakan
sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah
sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori
konflik merupakan antitesis dari teori struktural
fungsional, dimana teori
struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan
konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak
akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori
konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga
membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda
ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi
dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu
agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural
fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu
terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial
disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik
tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam
konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan
“paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena
adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya
dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang
berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf
Dahrendorf.
b. Mikro
1. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme SimbolisInti pandangan pendekatan ini
adalah individu.Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu
merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa
individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George
Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan
perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan
bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol,
yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.Sosiolog
interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan
Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial- psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur- struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial- psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur- struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
Baik manusia dan struktur sosial
dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika
dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi
ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor
yang dinamis dan berubah, Yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak
pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar
sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya
merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran
(mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun
sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan
aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat
simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu
kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi
kita mengenai, dan respon kita terhadap realitas muncul dalam proses interaksi.
Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982) salah satu arsitek
utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’
tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung
antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia
menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’tindakan satu sama lain dan tidak
semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia
dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan
makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses
interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.
Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan
banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang
pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.Pendekatan interaksionisme simbolik
berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead
mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik.Pendekatan
interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah
virtual.Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran
simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan
mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu
dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang
lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi
antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang
orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham
interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada
ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan
yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi
intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas,
Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James
Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis
adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri
sendiri (the self) dan dunia luarnya.Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking
glass self.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori
maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan
individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni
manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari
interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat
interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger yang mengutip pendapat Herbert
Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan.Di antaranya
adalah mengenai Konsep Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya
yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan
dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan
Konsep Perbuatan dimana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses
interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan
dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep
Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada,yakni
manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana proses
pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action
di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing
individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001), hanya
sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang
pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan
dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara
faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan
‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor.Kita bisa melihatnya dalam
ilmu psikologi sosial saat ini.Posisi teori interaksionisme simbolis adalah
sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat
dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme
simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar
pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori
interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi
sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga
interaksi simbolis memandang “arti”sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi
yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka
berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis
pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam.Tokoh-tokoh
Teori Interaksionisme Simbolik.Mengikuti penjelasan Abraham (1982), Charles
Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini.Pemikiran sosial
Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari
kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan
sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat
demokratis, moral, dan progresif.Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda
secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad
kesembilanbelas.
Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri
pada aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari
perjuangankelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley berusaha
mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan
sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian
psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat.“Kehidupan kita
adalah suatu kehidupan manusia secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita
ingin memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus
memandang individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka
proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.” Jadi, evolusi organik
adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud
dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski tetap
masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan
saling bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya
membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda pikirkan
tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan
tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari
sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia
berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri
mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari
individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut.“Imajinasi yang saling
dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat.Masyarakat
adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang bersifat personal.”Dalam konsep The
Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley,
institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri,
pendidikan, agama, dan hukum.Sementara institusi-institusi tersebut membentuk
‘fakta-fakta dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis,
mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran
publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari
organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk bentuk-bentuk adat
kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan
yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan
kreasi mental dari individu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan
manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena
sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh
Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai
kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur
sosial, namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial
tersebut.
Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan
analitiknya terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu
“Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan
fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama, Human
Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai diri yang
bersifat sosial (social-self), yakni makna “Aku”sebagaimana yang teramati dalam
pikiran dan perbincangan sehari-hari.
2. Etnometodologi
Yang
dimaksud dengan teori etnometodolgi ialah suatu teori dalam ilmu sosiologi yang
berisikan sekumpulan pengetahuan, serangkaian prosedur dan sejumlah
pertimbangan atau metode tentang kehidupan alamiah masyarakat sehari-hari, yang
ditandai dengan bahasa yang digunakan, di mana masalah-masalah kemasyarakatan
ini diartikan sebagai masalah yang diselesaikan secara rutin, praktis dan
kontinyu tanpa banyak menggunakan pikiran. Dalam kehidupan sehari-hari
dengan teori etnometodologi anggota masyarakat menggunakan penalaran praktis,
logika sendiri dan sifatnya abstrak teoritis, hidup dan berkembang dalam suatu
tatanan masyarakat alamiah yang merupakan produk masyarakat setempat.
Aliran
etnometodologi mempunyai prinsip-prinsip, sebagai berikut ;
1.
Mengkaji
kegiatan dan lingkungan praktis.
2.
Menganalisis
kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, cara manusia berkomunikasi, mengambil
keputusan, berpenalaran dan sebagainya.
3.
Memakai
penalaran praktis.
4.
Menggunakan
penelitian empiris.
5.
Berpegang
pada pengalaman.
6.
Menggunakan
bahasa awam, bukan bahasa ilmiah.
7.
Berpendapat
bahwa akitivitas dari aktor yang terus menerus membentuk realitas masyarakat,
bukan sebaliknya
8.
Berasumsi
bahwa fenomena sehari-hari menjadi kacau, jika dianalisis dengan jalan
diskripsi ilmiah
9.
Berasumsi
bahwa norma, aturan hukum, struktur, semua tidak stabil, tetapi berubah-ubah
karena tindakan aktor yang terus menerus berubah.
Adapun
yang menjadi objek atau cara telaahan dari paham etnometodologi, antara lain
sebagai berikut ;
1.
Menelaah
praktik cerdas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
2.
Melakukan
kajian studi tentang sebuah institusi
3.
Mendapatkan
kejelasan yang substantif dari aktor
4.
Memberikan
sesuatu penjelasan kepada orang lain
5.
Mengetahui
cara atau metode menerima penjelasan dari orang lain
6.
Menganalisis
percakapan sehari-hari
7.
Menganalisis
pengejekan dan pelecehan orang lain
8.
Menganalisis
antara kalimat yang dipakai dengan narasi reasoning
9.
Menganalisis
antara pembicaraan dengan bahasa tubuh
10.
Mengontrol
diri dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri
11.
Menganalisis
metode pelanggaran sistem dan metode pemulihan sistem yang ada
12.
Menganalisis
terhadap negoisasi yang dilakukan para eksekutif
3. Teori pertukaran
Teori pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu
sosial yang menyatakan
bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan
yang saling memengaruh. Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang
tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia
tersebut terhadap:
·
Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang
dikeluarkan dari hubungan itu.
·
Jenis hubungan yang dilakukan.
·
Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Munculnya teori pertukaran sosial
Pada umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat maka kita dan masyarakat lain dilihat mempunyai perilaku
yang saling memengaruhi dalam hubungan tersebutyang terdapat unsur ganjaran ,
pengorbanan dan keuntungan . Ganjaran merupakan segala hal yang diperoleh
melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang
dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi
perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang
berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat
kerja, percintaan, perkawinan,dan persahabatan.
Analogi dari hal tersebut, pada suatu ketika anda merasa
bahwa setiap teman anda yang di satu kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu
dari anda. Pada saat tersebut anda selalu memberikan apa yang teman anda
butuhkan dari anda, akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi ketika anda
membutuhkan sesuatu dari teman anda. Setiap individu menjalin pertemanan
tentunya mempunyai tujuan untuk saling memperhatikan satu sama lain. Individu
tersebut pasti diharapkan untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya, saling membantu
jikalau dibutuhkan, dan saling memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi
mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost)
tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang
tidak jadi dilaksanakan. Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat sebagai sesuatu
hal yang mahal atau membebani ketika dipandang dari sudut penghargaan (reward)
yang didapatkan dari persahabatan tersebut. Namun, biaya tersebut harus
dipertimbangkan apabila kita menganalisis secara obyektif hubungan-hubungan
transaksi yang ada dalam persahabatan. Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat
tidak sesuai dengan imbalannya, yang terjadi justru perasaan tidak enak di
pihak yang merasa bahwa imbalan yang diterima itu terlalu rendah dibandingkan
dengan biaya atau pengorbanan yang sudah diberikan.
Analisa mengenai hubungan sosial yang terjadi menurut
cost and reward ini merupakan salah satu ciri khas teori pertukaran. Teori
pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro, khususnya
pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini
akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans
dalam analisisnya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip
psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar
menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat
pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu
struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang
lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.
Berbeda dengan analisis yang diungkapkan oleh teori
interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan
proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans
dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif
atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat
subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme
simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus
dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara
empirik.Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli
sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18
dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisis pasar ekonomi
sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi
individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia mengasumsikan bahwa
transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat
memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat
pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu
dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran
yang dinegosiasikan secara pribadi.
4. Teori pertukaran rasional.
Teori Rasionalitas
Max Weber
Dalam
filsafat , rasionalitas pelaksanaan alasan. Ini adalah cara di mana orang
menarik kesimpulan ketika mempertimbangkan hal-hal yang sengaja. Hal ini juga
mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan seseorang alasan untuk keyakinan,
atau dengan tindakan seseorang dengan seseorang alasan untuk tindakan.Namun,
“rasionalitas” istilah cenderung digunakan dalam diskusi khusus ekonomi,
sosiologi, psikologi dan ilmu politik.Sebuah keputusan yang rasional adalah
salah satu yang tidak hanya beralasan, tetapi juga optimal untuk mencapai suatu
tujuan atau menyelesaikan masalah.“Rasionalitas” digunakan berbeda di berbagai
disiplin ilmu.
Ada
kalanya seperti contoh masalah ilmu ketuhanan yang dikaitkan dengan filsafat.
Secara rasio, pikiran kita tak akan bisa menyambungkannya. Yang bisa
“mendamaikan” hanyalah iman yang kita miliki. Jika seseorang berpikir rasional
bahwa usaha adalah cara yang tepat untuk mencapai tujuan, itu memang
benar. Tapi secara bathiniyah religius seseorang Doa sangatlah dibutuhkan
seperti teori yang dikemukakan Comte dalam teori metafisik-nya. Dan
pemikiran kita tentang ”Tuhan itu ada”. Secara rasional pikiran kita tidak akan
bisa menerima karena kurang bukti nyata tentang adanya (bentuk/dzat) Tuhan yang
benar-benar jelas.
Menentukan
optimalitas untuk perilaku rasional memerlukan formulasi diukur dari masalah,
dan pembuatan beberapa asumsi kunci.Ketika tujuan atau masalah melibatkan
membuat keputusan, rasionalitas faktor dalam seberapa banyak informasi yang
tersedia (lengkap atau tidak lengkap misalnya pengetahuan).Secara kolektif,
asumsi formulasi dan latar belakang adalah model dimana rasionalitas berlaku.
Menggambarkan relativitas rasionalitas: jika seseorang menerima sebuah model di
mana manfaat diri sendiri adalah optimal, maka rasionalitas disamakan dengan
perilaku yang mementingkan diri sendiri ke titik yang egois; sedangkan jika
seseorang menerima model yang menguntungkan kelompok optimal, maka perilaku
pribadi semata dianggap tidak rasional. Dengan demikian berarti untuk
menegaskan rasionalitas tanpa juga menetapkan asumsi model latar belakang
menggambarkan bagaimana masalah dibingkai dan dirumuskan.Manusia dipandang
sebagai makhluk yang rasional dan juga tidak rasional. Pada hakikatnya manusia
itu memiliki kecenderungan untuk berfikir yang rasional atau logis, di samping
itu juga ia memiliki kecenderungan untuk berfikir tidak rasional atau tidak
logis. Kedua kecenderungan yang di miliki oleh manusia ini akan nampak dengan
jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah laku yang nyata. Dengan kata lain
dapat di jelaskan bahwa apabila seseorang telah berfikir rasional atau logis
yang dapat di terima dengan akal sehat, maka orang itu akan bertingkah laku
yang rasional dan logis pula. Tetapi sebaliknya apabila seseorang itu berfikir
yang tidak rasional atau tidak bisa di terima oleh akal sehat maka ia akan
menunjukan tingkah laku yang tidak rasional. Pola berfikir semacam inilah oleh
Ellis yang disebut sebagai penyebab bahwa seseorang itu mengalami gangguan
emosionil.
Para
sosiolog Jerman Max Weber mengusulkan sebuah interpretasi aksi sosial yang
membedakan antara empat jenis rasionalitas. Yang pertama, yang disebut
Zweckrational atau purposive / instrumental rasionalitas, berkaitan dengan
harapan tentang perilaku manusia lain atau benda di lingkungan. Harapan ini
berfungsi sebagai sarana untuk aktor tertentu untuk mencapai tujuan, yang Weber
mencatat yang “rasional dikejar dan dihitung.”Tipe kedua, disebut Weber
Wertrational atau nilai / kepercayaan berorientasi. Berikut tindakan yang
dilakukan untuk apa yang disebut alasan intrinsik untuk aktor: beberapa, etika
estetika, motif agama atau lainnya, tergantung dari apakah itu akan membawa
kesuksesan. Jenis ketiga adalah affectual, ditentukan oleh afek yang spesifik
seorang aktor, perasaan, atau emosi.“ Arti berorientasi” yang Weber sendiri
mengatakan bahwa ini adalah jenis rasionalitas yang di garis batas apa yang
dianggap. Keempat adalah tradisional, ditentukan oleh pembiasaan mendarah
daging. Weber menekankan bahwa itu sangat tidak biasa untuk menemukan hanya
salah satu orientasi: kombinasi adalah norma. Penggunaan nya juga membuat jelas
bahwa ia menganggap dua yang pertama sebagai lebih penting daripada yang lain,
dan dapat dikatakan bahwa ketiga dan keempat adalah subtipe dari dua yang
pertama. Jenis-jenis rasionalitas yang tipe ideal.
Keuntungan
dalam penafsiran ini adalah bahwa ia menghindari penilaian yang bermuatan
nilai, mengatakan bahwa beberapa jenis keyakinan yang irasional. Sebaliknya,
Weber menunjukkan bahwa tanah atau motif dapat diberikan – untuk agama atau
mempengaruhi alasan, misalnya – yang dapat memenuhi kriteria penjelasan atau
pembenaran, bahkan jika itu bukanlah penjelasan yang sesuai dengan orientasi
Zweckrational sarana dan berakhir. Sebaliknya karena itu juga benar: beberapa
cara-berakhir penjelasan tidak akan memuaskan mereka yang dasar untuk tindakan
adalah ‘Wertrational’.
Konstruksi
Weber tentang rasionalitas telah dikritik baik dari Habermasian (1984)
perspektif (sebagai tidak memiliki konteks sosial dan di bawah-berteori dalam
hal kekuasaan sosial), dan juga dari feminis perspektif (Eagleton, 2003) dimana
konstruksi rasionalitas Weber adalah dipandang sebagai dijiwai dengan
nilai-nilai maskulin dan berorientasi pada pemeliharaan kekuasaan
laki-laki.Sebuah posisi alternatif pada rasionalitas yang meliputi rasionalitas
terbatas (Simons dan Hawkins, 1949), serta afektif dan nilai-argumen
berdasarkan Weber) dapat ditemukan dalam kritik Etzioni (1988), yang reframes
pemikiran pada pengambilan keputusan untuk berdebat untuk pembalikan posisi
yang diajukan oleh Weber. Etzioni menggambarkan bagaimana purposive/instrumental
penalaran adalah subordinasi oleh pertimbangan-pertimbangan normatif (ide-ide
tentang bagaimana orang ‘harus’ untuk berperilaku) dan pertimbangan afektif
(sebagai sistem dukungan untuk pengembangan hubungan manusia).
Dalam
psikologi penalaran , psikolog dan ilmuwan kognitif telah membela posisi yang
berbeda pada rasionalitas manusia. Salah satu pandangan yang menonjol, karena
Philip Johnson-Laird dan Ruth MJ Byrne antara lain adalah bahwa manusia
rasional pada prinsipnya tetapi mereka keliru dalam praktek, yaitu manusia
memiliki kompetensi harus rasional, tetapi kinerja mereka dibatasi oleh
berbagai faktor.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Integrasi berasal
dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan
atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di
antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga
menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Adapun teori-teori
integrasi itu dibagi menjadi dua sisi yang pertama, teori makro dan yang kedua
teori mikro, dalam beberapa teori tersebut akan diperinci seperti halnya teori
makro di bagi dua yakni teori fungsional dan teori konflik, teori mikro dibagi
menjadi empat yakni teori interaksionisme simbolik, teori etnometodologi, teori
pertukaran, teori pertukaran rasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Riyadi Soprapto..2001. Interaksionisme Simbolik
Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wardi
Bachtiar. 2006. Sosiologi Klasik remaja.Rosda Karya: Bandung
Soekanto,
Soerjana. 1982. Teori Sosiologi tentang Pribadi Masyarakat.Jakarta
Ghalia Indonesia
Bernard
Raho. 2007. Teori sosiologi modern. Jakarta: pustaka PublisherSumber :
http://warungbelajarbebas.blogspot.co.id/2013/01/teori-teori-dasar-integrasi.html
0 comments:
Posting Komentar